Get Mystery Box with random crypto!

Apakah orang-orang Anshar yang merupakan penduduk Madinah itu | SEJARAH ISLAM

Apakah orang-orang Anshar yang merupakan penduduk Madinah itu akan mampu bertahan dalam perang saat terjadi nanti? Apakah mereka, dalam keahlian perang dapat menandingi orang-orang Quraisy yang cekatan dalam taktik dan muslihat perang? Karena itulah, Abbas mengemukakan pertanyaan itu sebagai pancingan,

“Gambarkanlah kepadaku tentang peperangan, bagaimana cara kalian memerangi musuh-musuh kalian.” Namun, orang-orang Anshar yang mendengarkan perkataan Abbas ini, adalah lelaki yang kokoh laksana gunung.

Saat Abbas belum sampai pada akhir pembicaraannya, terutama pada pertanyaan yang memacu darah itu, mereka sudah mulai angkat bicara. Abdullah bin Amr bin Hiram menjawab pertanyaan tersebut,

“Demi Allah, kami adalah keluarga prajurit yang telah makan asam garamnya medan laga. Kami mewarisi keahlian perang itu turun-temurun dari nenek moyang kami. Kami adalah pemanah yang membinasakan, pelempar tombak yang memecahkan setiap sasaran, dan kami berjalan dengan membawa pedang dan bertarung hingga kami gugur lebih dulu atau musuh yang binasa.”

Abbas menjawab dengan wajah berseri-seri,

“Kalau begitu, kalian adalah ahli perang. Apakah kalian juga memiliki baju besi?”

Mereka menjawab, “Ya, kami mempunyai baju besi yang mencukupi.”

Kemudian terjadilah percakapan penting dan menentukan antara Rasulullah dan orang-orang Anshar, percakapan yang insya Allah akan penulis haturkan pada kesempatan yang akan datang.

Itulah peran Abbas dalam Baiat Aqabah II. Baginya sama saja, apakah ia telah masuk Islam waktu itu secara diam-diam, atau masih dalam tahap berpikir, perannya jelas sangat penting dalam menetapkan garis pemisah antara kaumnya yang akan tenggelam ke dalam kegelapan malam dan sinar pagi yang akan terbit. Kejantanan dan kecerdasan Abbas terlihat jelas dalam peristiwa itu.

Perang Hunain akan memperkuat bukti keberanian dari orang yang kelihatannya pendiam dan lemah lembut ini. Keberanian ketika kebutuhan menuntutnya dan situasi akan bergetar karenanya, sedangkan pada saat-saat lainnya ia terpendam jauh dalam dada, terlindung dari cahaya. Pada tahun 8 H, setelah Allah membebaskan negeri Mekah untuk Rasulullah dan agama-Nya, sebagian kabilah yang berpengaruh di Jazirah Arab tidak sudi melihat kemenangan gemilang dan perkembangan yang cepat dari agama ini. Kabilah Hawazin, Tsaqif, Nashar, Jusyam, dan lain-lain bersekutu dan mengambil keputusan untuk melancarkan serangan mematikan terhadap Rasulullah dan kaum Muslimin.

Kata-kata “kabilah” tidak boleh memperdayai kita, sehingga terbayang oleh kita bahwa ciri peperangan yang diterjuni Rasulullah pada masa itu, hanya semata-mata perkelahian kecil-kecilan dari orang-orang primitif, yang dilancarkan dari kabilah dari tempat-tempat perlindungan mereka. Pengetahuan tentang hakikat ini bukan saja memberikan kepada kita penilaian yang baik terhadap usaha luar biasa yang telah dikerahkan oleh Rasulullah dan para sahabat beliau semata, melainkan juga memberikan kepada kita penghargaan yang benar dan kepercayaan terhadap nilai kemenangan agung yang digapai oleh Islam dan orang-orang beriman, serta suatu gambaran yang jelas terhadap taufik Allah yang utama pada setiap kejayaan dan kemenangan ini.

Kabilah-kabilah tersebut telah menghimpun diri dalam barisan-barisan besar, terdiri dari prajurit perang yang ganas. Kaum Muslimin bergerak dengan kekuatan 12.000 orang. 12.000 orang? Siapa sajakah mereka? Mereka terdiri dari banyak kalangan, di antaranya adalah orang-orang yang telah membebaskan Mekah belum lama ini dari kehidupan yang penuh dengan kesyirikan dan paganisme hingga ke puncak kesesatan. Panji-panji mereka memenuhi angkasa tanpa ada yang mengganggu atau merintanginya. Ini merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan arogansi.

Kaum Muslimin pada hakikatnya tidak lepas dari sifat dasar manusia. Karena itulah, mereka menjadi lemah di hadapan kesombongan yang dibangkitkan oleh jumlah yang banyak dan kemenangan atas Mekah. Mereka pun berkata, “Hari ini kita tidak akan dikalahkan oleh jumlah yang sedikit.”

Bersambung Seri 3, Insyaallah...

@BelajarSejarahIslam